“Toni Si Anak Badut! Toni Si Anak Badut!”
Sorak orang beramai-ramai sembari mengelilingi
seorang anak lelaki yang diam memegangi lututnya. Anak itu mengepal tangannya.
Hatinya dilanda emosi. Gerahamnya mengeras.
“Hentikan!”
Ibu BP tiba-tiba datang. Anak-anak nakal itu
langsung bubar tanpa banyak basa-basi.
“Nak, jika kamu lagi diledek teman-temanmu, lapor
saja pada Ibu. Biar Ibu yang memberi mereka pelajaran,” Ucap Ibu BP lembut. “Sekarang
kembali ke kelasmu. Sebentar lagi pelajaran akan dimulai.”
Toni mengangguk. Lalu berjalan menuju kelas. Sesampainya
di kelas, seluruh pasang mata menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia
hanya menunduk dan berjalan melintasi teman-temannya. Ia duduk di paling sudut
belakang. Selain karena tidak ada yang mau menjadi teman duduknya, Toni juga
malas duduk di tengah maupun di depan. Tidak ada waktu baginya untuk
melamun—melihat ke luar jendela jika ia harus duduk di depan.
Tiba-tiba, Toni terjatuh karena salah seorang
temannya dengan sengaja menendang kakinya. Semua siswa langsung tertawa begitu
melihat kejadian itu. Toni hanya menghela napas, lalu bergegas menuju bangkunya
menahan rasa sakit dan malu.
Sejurus kemudian, Pak Hadi datang sembari menjinjing
seberkas dokumen. “Selamat pagi anak-anak,” Sapanya hangat, dan langsung
dibalas serempak oleh seluruh siswa. “Maaf sebelumnya, Bapak hanya mengingatkan
pada kalian semua, untuk segera melunasi uang sekolah, terutama Toni. Karena
sebentar lagi kalian akan mengikuti ulangan semester.”
“Dia kan si Anak Badut, bagaimana caranya bisa bayar
sekolah?” Celetuk salah seorang siswa yang membuat siswa lainnya tertawa
terpingkal-pingkal. Toni hanya diam sambil menunduk. Tangannya meremas celana
yang dikenakannya.
“Cukup!” Sambar Pak Hadi. “Kalau suatu saat kalian
dilakukan seperti tadi, apa yang akan kalian lakukan? Jangan saling menghina
teman. Paham?”
“Paham.”
“Sekarang, buka buku paket halaman 5.”
***
“Toni, bagaimana sekolahmu hari ini?” Tanya Ayah
begitu Toni sampai di rumah.
“Tadi Pak Hadi ngomel karena belum bayar uang
sekolah. Katanya harus segera dilunasi.”
“Hmm.. Nanti akan Ayah bayar. Kamu belajar yang
rajin, Toni. Supaya pintar, agar bisa seperti Ayah.”
“Seperti Ayah? Nggak salah denger, tuh? Toni mau nanya
deh, kenapa kita tidak kaya? Dan, kenapa Ayah mau menjadi badut? Tidakkah ada
pekerjaan yang lebih bagus dan menghasilkan uang banyak?”
“Siapa bilang kita tidak kaya? Menjadi kaya bukan diukur dari
seberapa banyak kamu punya uang, tapi seberapa banyak kamu memberikan.” Jawab
Ayah sabar. “Dan, badut merupakan
pekerjaan yang mulia,”
“Cih. Mulia dari mananya? Gara-gara Ayah, aku sering
menjadi bahan ledekan temen-temen. Dan gara-gara Ayah pula, Ibu meninggalkanku!”
Sambar Toni jengkel sambil melempar tasnya di sembarang tempat. Kemudian,
mengambil jaket di kamarnya lalu beranjak ke luar rumah.
“Toni, kamu mau ke mana?” Tanya Ayah.
“Bukan urusan Ayah.” Sahut Toni sambil memakai
sandal.
“Bawa payung, Nak. Langit mendung, kalau hujan nanti
kamu sakit.”
Toni mengabaikan perkataan Ayah. Ia langsung pergi
meninggalkan rumah. Sebetulnya, hari ini ia tidak berniat untuk pergi ke
mana-pun. Hanya ingin berjalan-jalan sambil mencari udara segar.
Terasa sumpek
jika terus-menerus berada di rumah, mendengar perkataan Ayah yang tidak
berguna. Dalam benaknya, dia ingin seperti kebanyakan teman-temannya. Hidup
serba mewah, dibelikan ini-itu tanpa memikirkan hari esok.
Tak lama kemudian, titik-titik hujan mulai
berjatuhan. Toni langsung panik, dan berlari mencari tempat untuk berteduh.
Semakin lama, hujan kian deras. Tidak ada satupun
pohon cukup rindang untuk berteduh. Toni mulai memaki dirinya atas kebodohannya
tidak menuruti perintah Ayah.
Dengan terpaksa, ia pun memasuki pekarangan panti
asuhan dekat sana, dan berteduh di teras luar. Jaket tipis yang dikenakannya
tidak serta-merta membuat tubuhnya menjadi hangat. Tubuhnya yang kurus kering
menggigil bak orang ketakutan. Terdengar suara petir menggelegar, membuat
perasaan Toni semakin getir.
Kurasa hujan ini
akan lama, batinnya.
“AAaaa!”
Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundak Toni,
sehingga membuatnya menjerit ketakutan. Ia langsung menutup wajahnya dengan
tangan, “Ampun, saya tidak berniat untuk mencuri. Saya hanya ingin berteduh
sampai hujan reda. Maaf, kalau saya tidak izin sebelumnya.”
“Toni?” Sahut suara perempuan itu lembut.
Toni melihat perempuan yang ada di hadapannya
melalui sela-sela jarinya. Dilihatnya perempuan berparas cantik dengan rambut
yang dikuncir seperti ekor kuda.
“Kamu siapa?” Toni menggaruk rambut yang tidak
gatal.
“Aku Sari. Kamu Toni anaknya Pak Damar yang sering
jadi badut itu, kan?”
“Kamu pasti ingin meledekku!”
“Tentu saja tidak.” Sari tertawa kecil, “Aku sangat
ingin bertemu denganmu. Pak Damar sering membicarakan tentangmu, Toni. Dia
sering menceritakan prestasi yang sering kamu raih setiap akhir tahun. Dia
sangat bangga padamu.”
“Cih!” Umpat Toni. “Gara-gara pekerjaannya yang aneh dan
tidak bermutu itu, aku sering menjadi bahan ledekan temen-temen. Belum lagi penghasilannya
yang relatif kecil membuatku sering dipanggil guru karena telat membayar uang
sekolah.”
Sari tersenyum, “Kamu tahu, walaupun ayahmu hanya
seorang badut dan tidak menghasilkan banyak uang. Namun, ayahmu membagi kebahagiaannya
pada banyak anak-anak di sini.”
“Tapi gara-gara dia pula, Ibu meninggalkanku
sendiri. Jika Ayah tidak menjadi badut, pasti kami akan tetap menjadi keluarga
utuh yang bahagia,” Sahut Toni. “Aku benci Ayah!”
“Toni, kamu seharusnya bersyukur,” ujar Sari lirih.
“Mari masuk ke dalam, akan aku tunjukan sesuatu,”
Toni menuruti, lalu mengikuti Sari memasuki gedung
tua peninggalan Belanda itu. Saat di dalam, Toni terkejut karena banyak
anak-anak yang ada di sana. Saling bermain dan berbagi bersama. Bekerja sama
dalam melakukan segala aktivitas.
“Kamu seharusnya bersyukur sudah bisa bersekolah dan
merasakan kasih sayang orang tua. Sedangkan mereka? Mereka sama sekali tidak
tahu siapa orang tua mereka, dan tidak bisa bersekolah seperti anak-anak pada
umumnya. Tapi mereka memiliki cita-cita tinggi, dan calon anak-anak hebat yang
akan merubah dunia. Ayahmu selalu membuat kami lupa dengan masalah kami. Ia
mengingatkan kami tentang mimpi dan harapan. Semua anak-anak di sini
merindukannya. Hanya dia yang bisa
membawa senyum kepada mereka.
"Ayahmu ibarat sebuah pohon yang rendah, namun
daunnya lebat dan rindang. Jadi, walaupun pekerjaannya biasa-biasa saja, namun
hal itu sangat bermanfaat bagi sekitarnya.” Lanjut Sari.
Toni menelan ludahnya. Tak menyangka jika pekerjaan
ayahnya selama ini sangat mulia dan menginspirasi banyak orang. Ia merasa
sangat bersalah atas apa yang selama ini ia lakukan pada ayahnya. Seketika air
matanya menetes.
***
Profil Singkat Penulis
Nama: Made Bagus Tutuan Andika Kaya
Sekolah: SMAN 4 Denpasar
Media Sosial:
a. Facebook: Andika Kaya
b. Email: andikakaya761@gmail.com
No comments:
Post a Comment