Sunday, January 22, 2017

[Cerita Kita] Berbagi Kebahagiaan - Andika Kaya


“Toni Si Anak Badut! Toni Si Anak Badut!”

Sorak orang beramai-ramai sembari mengelilingi seorang anak lelaki yang diam memegangi lututnya. Anak itu mengepal tangannya. Hatinya dilanda emosi. Gerahamnya mengeras.

“Hentikan!”

Ibu BP tiba-tiba datang. Anak-anak nakal itu langsung bubar tanpa banyak basa-basi.

“Nak, jika kamu lagi diledek teman-temanmu, lapor saja pada Ibu. Biar Ibu yang memberi mereka pelajaran,” Ucap Ibu BP lembut. “Sekarang kembali ke kelasmu. Sebentar lagi pelajaran akan dimulai.”

Toni mengangguk. Lalu berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas, seluruh pasang mata menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia hanya menunduk dan berjalan melintasi teman-temannya. Ia duduk di paling sudut belakang. Selain karena tidak ada yang mau menjadi teman duduknya, Toni juga malas duduk di tengah maupun di depan. Tidak ada waktu baginya untuk melamun—melihat ke luar jendela jika ia harus duduk di depan.

Tiba-tiba, Toni terjatuh karena salah seorang temannya dengan sengaja menendang kakinya. Semua siswa langsung tertawa begitu melihat kejadian itu. Toni hanya menghela napas, lalu bergegas menuju bangkunya menahan rasa sakit dan malu.

Sejurus kemudian, Pak Hadi datang sembari menjinjing seberkas dokumen. “Selamat pagi anak-anak,” Sapanya hangat, dan langsung dibalas serempak oleh seluruh siswa. “Maaf sebelumnya, Bapak hanya mengingatkan pada kalian semua, untuk segera melunasi uang sekolah, terutama Toni. Karena sebentar lagi kalian akan mengikuti ulangan semester.”

“Dia kan si Anak Badut, bagaimana caranya bisa bayar sekolah?” Celetuk salah seorang siswa yang membuat siswa lainnya tertawa terpingkal-pingkal. Toni hanya diam sambil menunduk. Tangannya meremas celana yang dikenakannya.

“Cukup!” Sambar Pak Hadi. “Kalau suatu saat kalian dilakukan seperti tadi, apa yang akan kalian lakukan? Jangan saling menghina teman. Paham?”

“Paham.”

“Sekarang, buka buku paket halaman 5.”

***

“Toni, bagaimana sekolahmu hari ini?” Tanya Ayah begitu Toni sampai di rumah.

“Tadi Pak Hadi ngomel karena belum bayar uang sekolah. Katanya harus segera dilunasi.”

“Hmm.. Nanti akan Ayah bayar. Kamu belajar yang rajin, Toni. Supaya pintar, agar bisa seperti Ayah.”

“Seperti Ayah? Nggak salah denger, tuh? Toni mau nanya deh, kenapa kita tidak kaya? Dan, kenapa Ayah mau menjadi badut? Tidakkah ada pekerjaan yang lebih bagus dan menghasilkan uang banyak?”

“Siapa bilang kita tidak kaya? Menjadi kaya bukan diukur dari seberapa banyak kamu punya uang, tapi seberapa banyak kamu memberikan.” Jawab Ayah sabar. “Dan, badut merupakan pekerjaan yang mulia,”

“Cih. Mulia dari mananya? Gara-gara Ayah, aku sering menjadi bahan ledekan temen-temen. Dan gara-gara Ayah pula, Ibu meninggalkanku!” Sambar Toni jengkel sambil melempar tasnya di sembarang tempat. Kemudian, mengambil jaket di kamarnya lalu beranjak ke luar rumah.

“Toni, kamu mau ke mana?” Tanya Ayah.

“Bukan urusan Ayah.” Sahut Toni sambil memakai sandal.

“Bawa payung, Nak. Langit mendung, kalau hujan nanti kamu sakit.”

Toni mengabaikan perkataan Ayah. Ia langsung pergi meninggalkan rumah. Sebetulnya, hari ini ia tidak berniat untuk pergi ke mana-pun. Hanya ingin berjalan-jalan sambil mencari udara segar.

Terasa sumpek jika terus-menerus berada di rumah, mendengar perkataan Ayah yang tidak berguna. Dalam benaknya, dia ingin seperti kebanyakan teman-temannya. Hidup serba mewah, dibelikan ini-itu tanpa memikirkan hari esok.

Tak lama kemudian, titik-titik hujan mulai berjatuhan. Toni langsung panik, dan berlari mencari tempat untuk berteduh.

Semakin lama, hujan kian deras. Tidak ada satupun pohon cukup rindang untuk berteduh. Toni mulai memaki dirinya atas kebodohannya tidak menuruti perintah Ayah.

Dengan terpaksa, ia pun memasuki pekarangan panti asuhan dekat sana, dan berteduh di teras luar. Jaket tipis yang dikenakannya tidak serta-merta membuat tubuhnya menjadi hangat. Tubuhnya yang kurus kering menggigil bak orang ketakutan. Terdengar suara petir menggelegar, membuat perasaan Toni semakin getir.

Kurasa hujan ini akan lama, batinnya.

“AAaaa!”

Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundak Toni, sehingga membuatnya menjerit ketakutan. Ia langsung menutup wajahnya dengan tangan, “Ampun, saya tidak berniat untuk mencuri. Saya hanya ingin berteduh sampai hujan reda. Maaf, kalau saya tidak izin sebelumnya.”

“Toni?” Sahut suara perempuan itu lembut.

Toni melihat perempuan yang ada di hadapannya melalui sela-sela jarinya. Dilihatnya perempuan berparas cantik dengan rambut yang dikuncir seperti ekor kuda.

“Kamu siapa?” Toni menggaruk rambut yang tidak gatal.

“Aku Sari. Kamu Toni anaknya Pak Damar yang sering jadi badut itu, kan?”

“Kamu pasti ingin meledekku!”

“Tentu saja tidak.” Sari tertawa kecil, “Aku sangat ingin bertemu denganmu. Pak Damar sering membicarakan tentangmu, Toni. Dia sering menceritakan prestasi yang sering kamu raih setiap akhir tahun. Dia sangat bangga padamu.”

“Cih!” Umpat Toni. “Gara-gara pekerjaannya yang aneh dan tidak bermutu itu, aku sering menjadi bahan ledekan temen-temen. Belum lagi penghasilannya yang relatif kecil membuatku sering dipanggil guru karena telat membayar uang sekolah.”

Sari tersenyum, “Kamu tahu, walaupun ayahmu hanya seorang badut dan tidak menghasilkan banyak uang. Namun, ayahmu membagi kebahagiaannya pada banyak anak-anak di sini.”

“Tapi gara-gara dia pula, Ibu meninggalkanku sendiri. Jika Ayah tidak menjadi badut, pasti kami akan tetap menjadi keluarga utuh yang bahagia,” Sahut Toni. “Aku benci Ayah!”

“Toni, kamu seharusnya bersyukur,” ujar Sari lirih. “Mari masuk ke dalam, akan aku tunjukan sesuatu,”

Toni menuruti, lalu mengikuti Sari memasuki gedung tua peninggalan Belanda itu. Saat di dalam, Toni terkejut karena banyak anak-anak yang ada di sana. Saling bermain dan berbagi bersama. Bekerja sama dalam melakukan segala aktivitas.

“Kamu seharusnya bersyukur sudah bisa bersekolah dan merasakan kasih sayang orang tua. Sedangkan mereka? Mereka sama sekali tidak tahu siapa orang tua mereka, dan tidak bisa bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Tapi mereka memiliki cita-cita tinggi, dan calon anak-anak hebat yang akan merubah dunia. Ayahmu selalu membuat kami lupa dengan masalah kami. Ia mengingatkan kami tentang mimpi dan harapan. Semua anak-anak di sini merindukannya.  Hanya dia yang bisa membawa senyum kepada mereka.

"Ayahmu ibarat sebuah pohon yang rendah, namun daunnya lebat dan rindang. Jadi, walaupun pekerjaannya biasa-biasa saja, namun hal itu sangat bermanfaat bagi sekitarnya.” Lanjut Sari.

Toni menelan ludahnya. Tak menyangka jika pekerjaan ayahnya selama ini sangat mulia dan menginspirasi banyak orang. Ia merasa sangat bersalah atas apa yang selama ini ia lakukan pada ayahnya. Seketika air matanya menetes.

***

Profil Singkat Penulis
Nama: Made Bagus Tutuan Andika Kaya
Sekolah: SMAN 4 Denpasar
Media Sosial:
    a. Facebook: Andika Kaya
    b. Email: andikakaya761@gmail.com

No comments:

Post a Comment

Selamat datang di-blog aku :)
Halo, teman-teman! Apa kabar, nih? Baik, kan? Hihi ... Kenalan dulu, yuk!

Andika Kaya adalah pelajar SMA yang memiliki segudang impian, yang menyambung hidupnya dengan menulis. Berharap juga menjadi JK Rowling atau Raditya Dika. Bangun siang adalah kerjaan rutinnya selama menjadi kelas X di SMAN 4 Denpasar.

Di blog ini, kamu bisa baca resensi dan tips menulis buku. Dan kamu juga bisa menghubungi kami melalui Facebook: Andika Kaya atau e-mail ke andikakaya761@gmail.com

Terima kasih dan semangat terus!